A. Pengertian Gender
Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan
jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki
dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis,
berlaku universal dan tidak dapat diubah. Adapun gender adalah sifat yang
melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural, dengan begitu tampak jelas bahwa berbagai pembedaan tersebut tidak
hanya mengacu pada perbedaan biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial
budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang masyarakat.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah
perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial,
dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari
waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi
peran laki-laki dan perempuan.Dalam pandangan sosial, perempuan memiliki status
dan kekuatan yang lebih rendah serta menguasai sumber daya yang lebih sedikit. Ketimpangan
relasi laki-laki dan perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki
sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari
nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu, perempuan
diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif,
penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, dan tekun.
Berkembangnya peradaban mestinya menyadarkan banyak kalangan
bahwa asumsi yang muncul dan selalu melekat pada perempuan tidak selamanya
benar, demikian juga sebaliknya. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan
kasus yang membuktikan bahwa hal tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun
dalam kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan
laki-laki dan perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki maupun
perempuan.
B.
Kajian Gender Menurut
Budaya
Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan
terjadinya perbedaan peran gender adalah memposisikan peran anak laki-laki dan
anak perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun
hak-hak yang sebanarnya merupakan hak universal.
Anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan
permainan yang identik sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak
laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan, atau jika ada
anak laki-laki yang bermain seperti perempuan, lingkungan sekitar menyebutnya
(maaf) banci. Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan
sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu
memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah, tentunya juga
mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki.
Proses pewarisan nilai ini pada akhirnya akan menjadikan anak
terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang
tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat
aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya, konsep ini
belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role ideology).
C.
Peran GenderMenurut Budaya
Pada saat lahir, jenis kelamin menentukan dasar anatomis
fisik. Pada fase kehidupan selanjutnya pengalaman, perasaan dan tingkah laku
yang diasosiasikan oleh orang dewasa, masyarakat sekitarnya serta budaya,
perbedaan biologis ini memberikan bias gender pada individu tersebut. Banyak
kenyataan mengenai bagaimana anak laki-laki dan perempuan berbeda dan bagaimana
sama, yang akan dipahami sebagai konstruksi budaya yang didasarkan pada
perbedaan biologis. Dalam konsep keseharian ada dua istilah yang kerap saling
tumpang tindih dalam memaknainya, yaitu peran gender dan peran jenis kelamin. Makna
peran gender (gender roles) sebagai derajat dimana seseorang mengadopsi
perilaku yang sesuai atau spesifik gender yang diberikan oleh budayanya. Lebih
lanjut makna peran jenis kelamin (sex roles) sebagai perilaku dan
pola-pola aktivitas laki-laki dan perempuan yang secara langsung dihubungkan
dengan perbedaan biologis dan proses reproduksi. Maka peran jenis kelamin
merupakan satu aktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh jenis kelamin
tertentu. Salah satu hasil temuan yang terpenting dari perbedaan gender yang ditemukan
dari banyak budaya di seluruh dunia adalah perempuan tinggal di rumah dan
merawat anak-anaknya,dan laki-laki meninggalkan rumah untuk bekerja.
Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar
peran antara laki-laki dan perempuan, namun aktivitas tersebut tidak terkait
dengan kondisi biologis jenis kelamin, maka sebenarnya dapat terjadi tukar
peran antara jenis kelamin yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum
secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada
akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga akhirnya,
akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya,
sementara sang ibu berjalan lenggang. Padahal kondisi itu telah secara empirik
ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak. Pada akhirnya
disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi gender seseorang.
Dalam budaya, peran yang diberikan (roles ascribed ) bagi
laki-laki dan perempuan berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota
suatu budaya membentuk variasi tugas-tugas yang berkaitan dengan kelangsungan
hidup kelompok. Merujuk pada budaya yang di Indonesia, tampak ada perbedaan
peran gender antara suku bangsa yang ada. Sebagai contoh beberapa suku di tanah
Sumatra memposisikan perempuan begitu tinggi, sementara suku lainnya justru
sebaliknya. Begitu juga yang terjadi di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-daerah
lainnya di Indonesia. Secara umum sistem patrilinial lebih dominan dibanding
matrilinial, yang secara tidak langsung memposisikan jenis kelamin tertentu
memiliki kontruksi sosial yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin lainnya.
Pada giliran selanjutnya, posisi tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya
terbentuklah konstruksi gender.
Dalam pandangan masyarakat secara umum,
perempuan dicirikan lebih memperlihatkan sikap patuh dan mengikuti norma yang
berlaku dalam suatu masyarakat dibandingkan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan
pandangan tradisional bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga dan pengambil
keputusan utama, sedangkan peran perempuan lebih banyak mengurus anak dan rumah
tangga. Dengan demikian, perempuan diharapkan untuk konform atas keputusan yang
dibuat oleh laki-laki atau masyarakat. Persoalan yang menarik dan harus
ditanyakan adalah, apakah kepatuhan itu hanya keharusan miliki kelompok
perempuan? Tentunya jawaban pertanyaan ini adalah tidak. Artinya, apapun jenis
kelaminnya harus ada rasa kepatuhan pada hal-hal yang memang layak dipatuhi.
Konform atas satu keputusan yang disepakati bersama merupakan keharusan bagi
siapa saja yang ada dalam komunitas tersebut tanpa melihat sisi jenis kelaminnya.
D.
Implementasi
Dalam Bimbingan dan Konseling
Kesetaraan
gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki danperempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Terwujudnya
kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan
dan laki-laki, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi,
dan kontrol untuk memperoleh manfaat yang setara dan adil. Adapun indikator
kesetaraan gender adalah sebagai berikut:
a.
Akses
Akses
adalah peluang dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan
bagaimana memperoleh aksesyang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki terhadap
sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh dalam pendidikan bagi guru adalah
akses memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk guru perempuan dan laki-laki
diberikan secara adil dan setara atau tidak.
b. Partisipasi
Partisipasi
merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok dalam kegiatan
dan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini guru perempuan dan laki-laki apakah
memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di sekolah atau tidak.
c.
Kontrol
Kontrol
adalah penguasaan, wewenang atau kekuatanuntuk mengambil keputusan. Dalam hal
ini apakah pemegang jabatan sekolah sebagai pengambil keputusan didominasi oleh
gender tertentu atau tidak.
d. Manfaat
Manfaat
adalah kegunaan yang dapat dinikmati secaraoptimal. Keputusan yang diambil oleh
sekolah memberikan manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki
atau tidak.
Berdasarkan pembahasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan sosial di masyarakat masih
banyak anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki,
misalnya perempuan masih dianggap lemah dibandingkan dengan laki-laki. Jadi sebaiknya
sebagai seorang konselor didalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan layanan
bimbingan dan konseling hendaknya tidak membeda – bedakan antara konseli
laki-laki dan perempuan. Agar tidak terjadi kesenjangan gender di lingkungan
sekolah tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar